Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang senantiasa menuntut keterlibatan pekerjaan sosial dalam penanganannya adalah masalah kemiskinan. Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya untuk membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Dalam proses pertolongannya, pekerjaan sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang mengedepankan prinsip keberfungsian sosial (social functioning) (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.
Sebagamana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi “kesehatan”, psikolog dengan konsepsi “perilaku adekuat”, guru dengan konsepsi “pendidikan”, dan pengacara dengan konsepsi “keadilan”, keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial dengan profesi lainnya. Morales dan Sheafor (1989:18) menyatakan:
Social functioning is a helpful concept because it takes into consideration both the environment characteristics of the person and the forces from the environment. It suggests that a person brings to the situation a set of behaviors, needs, and beliefs that are the result of his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the situation must be related to the world as that person confronts it. It is in the transactions between the person and the parts of that person’s world that the quality of life can be enhanced or damaged. Herein lies the uniqueness of social work.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (
destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (
poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
3. Kelompok rentan (
vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemesikinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “
near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “
destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Secara tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan pekerjaan sosial adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas. Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan harus mencakup tiga kelompok miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka seringkali orang mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang melekat padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa contoh PMKS yang sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok
destitute, poor atau
vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa proporsi jumlah PMKS diantara ketiga kategori tersebut membentuk piramida kemiskinan.
Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (
peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi:
1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial.
2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip
individualisation dan
self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan kedalam beberapa strategi:
1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “
the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE atau Kelompok Usaha Bersama.
STRATEGI MEMUTUS RANTAI KEMISKINAN : KONSEPSI PEKERJAAN SOSIAL (PENDAMPING) PKH (Program Keluarga harapan)
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “
person-in-environment dan
person-in-situation”.
Tujuan dari Program Kelurga Harapan adalah merubah Pola Perilaku terhadap sasaran RTSM agar menjadi lebih baik untuk generasi yang datang. Dengan pembekalan bimbingan dan pelatihan Pekerja Sosial/pendamping senantiasa mampu membina dan mendorong agar RTSM dapat berjuang begitu pentingnya kesadaran masyarakat terhadap Pendidikan dan Kesehatan.
Keberhasilan/Ujung Tombak Program Keluarga Harapan ada dalam peranan pendamping dan Pemerintah Daerah. Dalam menjalankan tugas tanpa pamrih mau berkorban demi masyarakat dan atas dasar Ikhlas, siap menghadapi situasi dan kondisi lingkungan serta pendekatan lebih intensif, akan memberikan Motivasi terhadap RTSM sehingga dalam jangka panjang akan membawa dampak menjadi generasi yang lebih maju dari orang tuanya
Pentinganya Peranan Pemerintah Daerah menjadi Ukuran Keberhasilan Program Keluarga Harapan. Sejauh mana peranan pemerintah daerah selalu menjadi persoalan di lapangan. Sulitnya berkoordinasi dan respon dari intansi terkait begitu lambat dan mengabaikan. Sikap dan perilaku pejabat yang acuh tapi mau rakyatnya sejahtera tidak sejalan dengan pernyataan pejabat pembuat komitmen/Bupati.
Berbagai alasan tentunya didasar pada otonomi daerah, sehingga banyak kebijakan-kebijakan yang sifatnya paling penting didahulukan sehingga PKH ini kurang disambut meriah oleh Pemerintah Daerah tertentu. Persoalanya bagaimanapun gencarnya sosialisasi oleh Pendamping, tetap tidak berpengaruh pada kebijakan pemerintah setempat.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Departemen Sosial merupakan salah satu lembaga pemerintah yang telah lama aktif dalam program pengentasan kemiskinan. Dalam strateginya Depsos berpijak pada teori dan pendekatan pekerjaan sosial.
Strategi penanganan kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin (dalam arti individu dan kelompok) dalam kaitannya dengan konteks lingkungan dan situasi sosial.
Diposkan sebagai komentar halaman blog
pkhmojokertokab.blogspot.com/2009/02/home oleh JUHADI OP. SUBANG disadur dari artikel oleh Edi Suharto Ph.D dengan perubahan seperlunya yang tidak mengubah makna.
Read More......